pembacasetia.com, Samarinda – Persoalan agraria kembali mencuat sebagai isu strategis di Kalimantan Timur (Kaltim), menyusul masih maraknya konflik lahan yang belum terselesaikan.
Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, Salehuddin, mengungkapkan bahwa mayoritas aduan masyarakat yang diterima pihaknya berkaitan langsung dengan sengketa kepemilikan tanah yang tidak memiliki legalitas hukum kuat.
“Sekitar 70 persen laporan yang masuk ke kami adalah persoalan tanah. Banyak masyarakat sudah tinggal puluhan tahun di atas lahan, bahkan menggarapnya untuk hidup, tapi tak punya sertifikat. Ketika konflik muncul, mereka yang paling dirugikan,” ungkapnya.
Ia menyebut konflik lahan sebagai “bom waktu” yang setiap saat bisa meledak jika tidak segera ditangani secara sistematis dan adil. Menurutnya, posisi masyarakat sangat rentan ketika berhadapan dengan ekspansi perusahaan besar atau proyek infrastruktur pemerintah, terutama bila tanah yang ditempati belum memiliki kepastian hukum.
Salehuddin mencontohkan kasus di Balikpapan, di mana proses pembangunan jalan tol sempat tersendat akibat klaim tumpang tindih terhadap lahan yang belum bersertifikat.
“Masalah ini bukan sekadar urusan administratif, tapi menyangkut hak ekonomi rakyat. Tanah adalah sumber kehidupan. Jika status hukumnya kabur, maka keberlangsungan hidup mereka ikut terancam,” tegasnya.
Yang lebih memprihatinkan, lanjutnya, bahkan aset milik pemerintah daerah, seperti fasilitas pendidikan, kantor layanan, hingga lahan pertanian masih ada yang belum mengantongi sertifikat resmi.
“Kalau aset milik negara saja statusnya belum aman, bagaimana bisa rakyat percaya bahwa hak mereka akan dilindungi?” sindir politisi asal Kutai Kartanegara itu.
Karena itu, Salehuddin mendesak Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta seluruh OPD terkait untuk mempercepat proses legalisasi aset negara. Selain itu, pemerintah juga harus proaktif dalam membantu masyarakat memperoleh legalitas lahan mereka.
“Selama ini warga merasa proses pengurusan sertifikat itu mahal, rumit, dan rentan pungli. Harusnya pemerintah jemput bola, datangi warga, bantu mereka menyelesaikan administrasi,” terangnya.
Ia menekankan pentingnya pendekatan yang humanis dan solutif untuk menyelesaikan konflik agraria. Upaya penyuluhan hukum, pendampingan administrasi, dan penyederhanaan prosedur harus dijadikan agenda prioritas.
“Jangan biarkan warga berjuang sendiri di tengah ketidakpastian hukum. Kalau kita ingin pembangunan berjalan lancar dan berkeadilan, penyelesaian konflik lahan ini tidak bisa ditunda lagi. Harus diselesaikan dengan cara yang sah, adil, dan damai,” pungkasnya. (Adv/RM)
