pembacasetia.com, Samarinda – Kebutuhan tenaga medis, khususnya dokter, di Kalimantan Timur (Kaltim) masih jauh dari mencukupi. DPRD Kaltim melalui Komisi IV menyoroti serius persoalan ini yang dinilai telah berlangsung lama tanpa solusi yang signifikan, terutama di kawasan 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Baba, menjelaskan bahwa saat ini provinsi hanya memiliki sekitar 2.000 dokter, sedangkan kebutuhan idealnya mencapai dua kali lipat.
Kondisi ini dinilainya bukan sekadar kekurangan teknis, namun sudah menjadi persoalan struktural yang perlu strategi jangka panjang.
“Kita kekurangan separuh dari kebutuhan tenaga dokter. Ini sudah mengkhawatirkan dan perlu penanganan menyeluruh, tidak bisa hanya tambal sulam,” ujar Baba saat ditemui.
Sebagai bagian dari upaya solusi, Baba mengusulkan penguatan program beasiswa kedokteran berbasis ikatan dinas, terutama untuk spesialisasi. Harapannya, setelah lulus, para dokter muda ini kembali dan mengabdi di daerah asal masing-masing.
“Kita butuh kebijakan afirmatif, apalagi bagi anak-anak dari wilayah pedalaman. Kalau bisa dapat beasiswa, lalu pulang dan bertugas di kampung halamannya sendiri,” tuturnya.
Dalam waktu dekat, Komisi IV dijadwalkan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama rumah sakit milik Pemprov. RDP ini bertujuan menggali langsung kebutuhan riil di lapangan sekaligus merancang pendekatan kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Selain penguatan SDM, Baba menekankan pentingnya membangun infrastruktur kesehatan secara merata dan mendukung layanan telemedicine agar jangkauan layanan kesehatan semakin luas, terutama untuk wilayah sulit akses.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV, Andi Satya Adi Saputra, menambahkan bahwa dari 188 Puskesmas yang tersebar di Kaltim, 48 di antaranya masih mengalami kekurangan sembilan jenis tenaga kesehatan, termasuk dokter umum, analis laboratorium, dan tenaga kefarmasian.
“Ketimpangan layanan antara wilayah perkotaan dan pelosok sangat terasa. Jangan sampai semua kebijakan kita hanya menyentuh kota-kota besar,” kata Andi, yang juga seorang dokter.
Andi juga mendukung pengembangan program beasiswa kedokteran berbasis kontrak kerja bagi putra-putri daerah. Ia menekankan bahwa kebijakan seperti telemedicine dari pusat perlu disesuaikan dengan kondisi lokal agar efektif, sebab tidak semua daerah memiliki kesiapan infrastruktur yang sama.
“Di Samarinda dan Balikpapan mungkin bisa langsung jalan. Tapi bagaimana dengan Mahakam Ulu atau Kutai Barat? Akses dan jaringan internet saja masih jadi kendala,” jelasnya.
Keduanya sepakat bahwa isu pemerataan layanan kesehatan harus menjadi fokus kebijakan daerah. Bagi mereka, kesehatan bukan semata urusan teknis, tetapi hak dasar setiap warga negara.
“Ini menyangkut hak hidup layak dan keadilan sosial. Tidak boleh ada warga yang merasa ditinggalkan hanya karena mereka tinggal jauh dari pusat kota,” tutup Baba. (Adv/RM)
